Soft Power Sebagai Instrument Technoligy Ciber Crime
Oleh. Muhammad Sidik, S.E.Sy
Isue penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap
Indonesia beberapa waktu lalu masih ramai diperbincangan diberbagai media masa.
Selain memberikan dampak memanasnya hubungan politik bilateral antara kedua
negara tersebut, penyadapan itupun memancing reaksi beragam dari masyarakat
kedua negara yang bertentangga ini. Perang argument dan pendapat pun
terjadi, aksi protes dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang meminta Australia
melayangkan permohonan maaf kepada pemerintah Indonesia belum ditanggapi dengan
tegas oleh negara kanguru tersebut.
Tanggapan ketidak seriusan tersebut membuat geram masyarakat
Indonesia, yang berujung pada aksi saling serang di dunia maya yaitu berupa
peretasan situs-situs resmi pemerintahan Australia oleh para haker Indonesia,
begitu pula sebaliknya situs-situs resmi pemerintahan Indonesia tidak luput
oleh serangan para Haker Australia.
Sikap keras Perdana Menteri Tony Abbott yang enggan
meminta maaf, dibalas oleh SBY dengan menghentikan kerja sama militer dan
penanganan imigran gelap. Indonesia juga telah menarik duta
besarnya dari Canbera sebagai langakah tegas pemerintah dalam hubungan politik
bilateralnya.
Sejauh ini, hubungan ekonomi Indonesia dan Australia masih
belum signifikan terpengaruh oleh issue tersebut, namun Direktur Kajian
Politik Center for Indonesian National Policy Studies, Guspiabri Sumowigeno,
menilai, latar belakang Australia menyadap komunikasi sejumlah petinggi
Indonesia karena kekhawatiran mereka bahwa Indonesia akan “berpaling” kepada
China.
Padahal, Barat (Amerika Serikat dan semua sekutunya di
seluruh dunia) memiliki skenario alias strategi besar membendung pengaruh China
di mana-mana, yang dinamakan China Containment.
Dalam konteks China Containment inilah maka perebutan pengaruh
Barat dan China itu terjadi secara sengit.“Inilah yang sekarang sedang membuat
panik kekuatan-kekuatan politik Australia,” kata Sumowigeno, Kamis
(28/11/13).China Containment merupakan cara Amerika Serikat dan sekutunya
membendung peningkatan pengaruh China sebagai negara adidaya baru dalam
ekonomi, militer, politik, dan budaya.
Menurut Sumowigeno, pengungkapan skandal penyadapan Australia
dari kantor kedutaan besarnya di Jakarta ini, “Pasti merusak strategi yang
ditujukan untuk membendung kebangkitan pengaruh China yang sedang muncul
menjadi kekuatan adidaya ekonomi, politik dan militer.” Ia mengatakan,
komitemen Indonesia terhadap China Containment itu cukup
terlihat. Indikasinya, Indonesia seolah tidak menganggap intervensi
politik dan militer Australia dalam kampanye pelepasan Timor Timur dari
Indonesia sebagai tamparan yang seharusnya membekas dalam pada 1999. Adalah
Australia yang berdiri paling depan dalam memberi tekanan politik dan kekuatan
militer berupa International Force for East Timor (Interfet) ke Indonesia soal
(saat itu) Provinsi Timor-Timur, pada awal 1999.
Australia sukses melepaskan Timor Timur dari Indonesia pada Agustus 1999,
juga “membentengi” jajak pendapat PBB yang diketahui juga tidak berlangsung
secara jujur dan adil sepenuhnya. Keberhasilan memereteli wilayah Indonesia
oleh Australia pada Timor Timur inipun tidak dianggap hambatan psikologis
berarti oleh Indonesia.
Indonesia
kemudian cepat membalikkan keadaan, dari krisis menjadi persahabatan dengan
Timor Timur, sejalan keberhasilan tim perumus Komisi Kebenaran Persahabatan
yang dibentuk bersama.
Dengan Australia, hubungan itu juga diubah segera, terutama
setelah dijalin kerja sama pada 2001; padahal kebanyakan kerja sama itu lebih
menguntungkan Australia, di antaranya Indonesia menjadi “benteng” pemberantasan
gelombang imigrasi gelap ke Australia.
Indonesia,
kata dia, tetap menjalin hubungan mesra nyaris seperti sekutu dengan Australia,
meskipun dalam kacamata politik internasional telah diperlakukan secara keji
oleh Australia dalam persoalan Timor Timur.
“Indonesia tidak mendapatkan imbalan sepadan untuk jasanya
mencegah kejatuhan Timor Portugis ketangan kelompok kiri atau komunis yang
meresahkan Australia sebelum tembok Berlin runtuh,” kata dia.
Dalam perspektif Beijing, lanjut dia, sikap ini konfirmasi bahwa
Indonesia memang ikut menjadi pilar dari China Containment. China dianggap
lebih sebagai ancaman yang nyata ketimbang Amerika Serikat dan sekutu-sekutu
Barat-nya, termasuk Australia.
Ia
mengatakan kepanikan Australia saat ini juga karena negara Timor Timur kemudian
ternyata juga bukan anak manis bagi Negara Kanguru itu dan berkali-kali
menggunakan “kartu China” untuk kepentingan nasionalnya.
Paling jelas adalah menekan Australia agar mau lebih jujur, adil, dan
terbuka soal pengelolaan minyak dan gas Bumi di celah Timor. Minyak Bumi di
celah Timor yang digembar-gemborkan Australia ada dalam jumlah sangat besar itu
diangkut dan dikilang di Australia.
Negara
Timor Timur hanya mendapat semacam “bagi hasil” dengan perhitungan deposit
pasti minyak Bumi dan gas, eksploitasi mereka, dan keuntungan yang hanya
diketahui segelintir pihak saja.
“Wacana pembukaan pangkalan militer China di negara Timor Timur
amat menggetarkan Australia,” katanya.
Salah satu faktor yang menghalangi hal itu tidak terwujud adalah karena
tiada restu dari Jakarta, dan China masih menimbang perasaaan Indonesia, bila
mereka jadi membuka pangkalan militer di dalam wilayah gugusan kepulauan
Nusantara.
“Tingkat kepercayaan Indonesia yang menipis pada Austraia bisa membuat
Jakarta mengambil sikap berbeda terhadap wacana itu untuk membuat perhitungan,”
ujarnya.